Author : UnknownTidak ada komentar
Perjalanan sejarah kota Jakarta begitu panjang dan banyak terdapat bangunan-bangunan bersejarah tak terkecuali penginapan atau hotel namun tidak semua bangunan kuno tersebut bisa lestari hingga sekarang. Kini generasi muda hanya bisa membaca dan mendengar cerita dari beberapa sejarah hotel karena tidak adanya bukti fisik dari peninggalan hotel yang pernah menjadi ikon Batavia tempo dulu.
Hotel des Indes tahun 1945-1948 Sumber foto wikipedia.org |
Pada 1970-an pembangunan fisik di Jakarta mulai pesat dibandingkan kota-kota lain di Nusantara. Di pihak lain, belum banyak yang peduli akan kelestarian warisan masa lampau sebagai sumber ilmu pengetahuan dimasa mendatang. Bahkan produk hukum seperti undang-undang dan peraturan pemerintah pun sering dilanggar dan diabaikan. Akibatnya banyak bangunan tempo dulu dihancurkan, kemudian diganti oleh bangunan baru. Oleh sebab itulah tidak ada bukti otentik bahwa kita pernah dijajah bangsa asing atau berperan sebagai bandar penting di masa lampau.
Menurut Alfred Russel Wallace yang berada di Batavia pada tahun 1861,
“ Hotel des Indes sangat nyaman, setiap tamu disediakan kamar duduk dan kamar tidur menghadap ke beranda. Di beranda, tamu dapat menikmati kopi pagi dan kopi sore... Pada pukul sepuluh disediakan sarapan table d'hôte, dan makan malam mulai pukul enam, semuanya dengan harga per hari yang pantas. ”
Bahkan, di eranya pada masa lampau, ketenaran Hotel des Indes dianggap melebihi hotel-hotel terkenal lainnya di Asia, termasuk Hotel Raffles yang dibangun oleh kolonial Inggris di Singapura.
Awal berdirinya Hotel des Indes
Hotel terbesar di Batavia yang terletak dekat ujung selatan Molenvliet West (Jl. Gajah Mada), berdiri di atas tanah seluas 3,1 ha. Semula merupakan pemukiman pribadi seorang insinyur VOC (1747). De Klerk juga pernah menjadi pemilik tanah ini pada tahun 1760. Pemerintah kemudian membeli rumah dan menjadikannya sekolah asrama putri (1832). Namun sekolah ini dipindah ke lokasi lain karena guru wanitanya menikah (1832).
Sejarah des Indes berawal dari Hotel de Provence milik Chaulan (1829) dan diteruskan oleh anaknya Antoine (1835). Nama de Provence diambil dari daerah Perancis selatan tempat Chaulan (pemilik hotel) dilahirkan. Lewat sebuah pelelangan, hotel menjadi milik Etiene yang juga putra Chaulan. Managemen hotel diserahkan kepada Comelis Denninghof yang merubah nama hotel menjadi Hotel Rotterdam (1851), sebelum dijual kepada Wijs.
Hotel Rotterdam tidak telalu menarik pengunjung. Bahkan mereka lebih memilih Hotel der Nederlanden. Kemudian Wijs mengubah nama hotel menjadi des Indes atas saran Douwes Dekker. Kembali hotel berpindah tangan dari Cressonier (1860), Louis Gallas (1880), Lught (1888), dan perusahaan bernama N.V. Setelah Cresonnier meninggal dunia pada tahun 1870, keluarganya menjual hotel ini kepada Theodoor Gallas.
Pada tahun 1886, Gallas menjual hotel ini kepada Jacob Lugt yang memperluas hotel secara besar-besaran dengan cara membeli tanah di sekeliling hotel. Setelah Lugt mendapat masalah keuangan, Hotel des Indes yang didirikan untuk mengelola hotel dan mengambil alih kekayaan Lught yang bangkrut (9 November 1897). Hotel des Indes mulai bangkit setelah pengangkatan Gantvoort sebagai manajer hotel.
Para tamu di Hotel des Indes menunjukkan tipologi masyarakat campuran. Mereka duduk bersama untuk saling beradu pendapat di "rumah sementara mereka" setelah mengunjungi Societeit Harmonie atau tempat lain. Ketika hotel dimiliki oleh Etienne, selain menyuguhkan evening ice dan memanfaatkan lapangan di depan hotel untuk pertunjukan sirkus kecil (1848). Di lantai bawah terdapat cafe kopi yang dioperasikan Louis Dimier, seorang bekas kepala rumah tangga di rumah-rumah Belanda di Paris, Brussel, dan London. Sebuah bangunan di samping kanan hotel merupakan writing rooms yang digunakan untuk kelas ketika gedung digunakan untuk sekolah (1801).
Hotel des Indes, 1910 Sumber foto wikipedia.org |
John T. McCutcheon menulis pada tahun 1910 bahwa bila dibandingkan dengan Hotel des Indes, semua hotel di Asia berada di bawahnya. Lebih lanjut, ia bercerita tentang kemewahan rijsttafel di hotel ini,
“ Anda harus makan siang lebih awal agar ada cukup waktu untuk menikmatinya sebelum makan malam. Makan siang disajikan oleh 24 orang pelayan yang berbaris memanjang, mulai dari dapur hingga ke meja, dan kembali ke dapur dengan berbaris.... Setiap pelayan membawa sepiring makanan berisi salah satu lauk dari keseluruhan 57 lauk pauk untuk rijsttafel. Anda mengambil sendiri lauk dengan sebelah tangan hingga lelah, lalu bergantian dengan tangan yang sebelah lagi. Ketika Anda sudah siap makan, piring anda terlihat seperti bunker di padang golf yang dipenuhi nasi. ”
Perluasan dirancang pada tahun 1928, dan selesai untuk dibuka dengan keadaan dan dekorasi menawan pada bulan Mei 1930. Setelah Indonesia merdeka, hotel ini diambil alih Pemerintah Indonesia pada tahun 1960, dan diganti namanya menjadi Hotel Duta Indonesia. Pada tahun 1971, bangunan hotel dibongkar untuk didirikan Pertokoan Duta Merlin.
Posted On : Selasa, 11 November 2014Time : 02.08